Isitilah
“demokrasi” berasal dari Yunani
Kuno
yang diutarakan di Athena
kuno pada abad
ke-5 SM.
Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah
sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti
dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi
modern telah berevolusi sejak abad
ke-18,
bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak
negara.
Kata
“Demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti
rakyat,
dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan,
sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih
kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam
bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini
disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi
adalah bentuk atau mekanisme sistem
pemerintahan
suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan
rakyat)
atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah
negara tersebut.
Salah satu
pilar demokrasi adalah prinsip trias
politica
yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif,
yudikatif
dan legislatif)
untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas
(independen)
dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan
independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga
lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol
berdasarkan prinsip checks
and balances.
Semenjak
kemerdekaan 17 Agustus 1945, Undang-Undang
Dasar 1945
memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.
Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab
kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat.
Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang
kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam
pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun
1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di
indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi
terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa
Demokrasi
Pancasila,
sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan
Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun
1998 ketika pemerintahan junta
militer
Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia
terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai
Demokrasi Indonesia-Perjuangan
sebagai pemenang Pemilu.
Makna
Demokrasi Dalam
ISLAM
Islam
sebagai agama sempurna memiliki sikap jelas terhadap masing-masing
dari prinsip atau institusi demokrasi tersebut. Bagi Islam, secara
umum demokrasi adalah konsepsi ambigu yang bisa berarti positif dan
negatif. Setelah mengkaji prinsip demokrasi, akan menjadi jelas sikap
Islam terhadap institusi yang digunakan sistem-sistem demokratis
tersebut. Salah satu institusi yang akan kita bahas adalah hak suara.
Islam tidak menerima legitimasi legislatif yang murni berdasarkan
suara mayoritas suara (yaitu 50%+1). Ini adalah konsep yang mudah
ditolak secara totologis. Kita mengetahui bahwa di dalam Islam
otoritas legislasi terbatas hanya pada Allah SWT dan orang yang
diizinkan-Nya dengan standar taqwa. Akan tetapi, Islam menghargainya
selama hal itu tidak keluar dari kerangka Islam dan berlaku dalam
“tempat kosong”, peluang yang diberikan pada manusia untuk
berkereasi. Dalam Islam, tempat kosong itu biasanya disebut mubahat
atau mahallul firagh. Dalam Islam, terkadang penggunaan hak suara
bahkan merupakan tugas wajib bagi setiap muslim yang memenuhi syarat
apabila hak suara tersebut bisa menjadi penguat dan penjaga
pemerintahan Islam sebagaimana yang diserukan Imam Khomeini di Iran.
Islam juga menerima hak perwakilan ketika setiap manusia sejajar
dalam hak dipilih untuk menjadi wakil rakyat. Hanya saja, ada tolok
ukur keutamaan yang harus dipegang yaitu takwa. Parlemen juga
diterima oleh Islam, tapi dengan dua syarat. Pertama, undang-undang
yang dikeluarkannya harus sejalan dengan Islam. Kedua, anggota
parlemen harus konsekuen dengan agama Islam. Begitu pula dengan
pemilihan umum presiden. Islam bisa menerimanya bahkan bisa menjadi
tugas setiap warga negara muslim apabila itu merupakan faktor
kesinambungan pemerintahan Islam. Sebagaimana mendirikan pemerintahan
Islam adalah kewajiban setiap muslim, menjaga pemerintahan yang sudah
berdiri pun menjadi kewajiban mereka. Tentu saja syarat-syarat
seorang untuk menjadi presiden harus diperhatikan, khususnya
berkaitan dengan komitmen agamanya.
Satu
hal yang tetap harus diingat adalah, berdasarkan pembahasan yang
telah lalu, pada hakikatnya pemilu tidak melegitimasi presiden.
Pemilihan presiden oleh rakyat hanya menunjukkan dukungan (bai’at)
mereka terhadap realisasi pemerintahan islam yang dipimpin oleh
pilihan khusus Tuhan secara langsung atau pilihan umum secara tidak
langsung.
Adapun judikasi, perhatian Islam kepadanya sulit dicari pada pemikiran lain. Dalam prinsip-prinsip Islam, secara tegas disebutkan tentang pengadilan yang dilarang memihak dan tidak boleh terpengaruh oleh tekanan politik atau lainnya yang akan menjauhkanya dari kebijakasanaan yang benar. Juga ditegaskan tentang tidak boleh adanya campur tangan hakim di luar kerangka hukum dalam setiap keputusannya. Satu hal lagi yang seringkali disalahgunakan demokrasi adalah masalah legalitas undang-undang yang dihasilkan oleh para wakil pilihan rakyat. Islam tidak menerima semua undang-undang sebagai hal yang yang legal untuk ditaati. Hanya undang-undang yang adil dan benar saja yang berhak memerintah. Buktinya, semua nabi dan imam datang untuk menegakkannya di saat mereka sendiri tunduk di bawah otoritasnya. Itu semua menunjukkan bahwa undang-undang yang adil membawahkan semua orang, tidak terbatas pada sebagian saja. Oleh karena itu, di dalam pemerintahan Islam tidak ada produk konstitusi yang legal untuk ditaati selain undang-undang yang adil dan benar.
Adapun judikasi, perhatian Islam kepadanya sulit dicari pada pemikiran lain. Dalam prinsip-prinsip Islam, secara tegas disebutkan tentang pengadilan yang dilarang memihak dan tidak boleh terpengaruh oleh tekanan politik atau lainnya yang akan menjauhkanya dari kebijakasanaan yang benar. Juga ditegaskan tentang tidak boleh adanya campur tangan hakim di luar kerangka hukum dalam setiap keputusannya. Satu hal lagi yang seringkali disalahgunakan demokrasi adalah masalah legalitas undang-undang yang dihasilkan oleh para wakil pilihan rakyat. Islam tidak menerima semua undang-undang sebagai hal yang yang legal untuk ditaati. Hanya undang-undang yang adil dan benar saja yang berhak memerintah. Buktinya, semua nabi dan imam datang untuk menegakkannya di saat mereka sendiri tunduk di bawah otoritasnya. Itu semua menunjukkan bahwa undang-undang yang adil membawahkan semua orang, tidak terbatas pada sebagian saja. Oleh karena itu, di dalam pemerintahan Islam tidak ada produk konstitusi yang legal untuk ditaati selain undang-undang yang adil dan benar.
a.
Musyawarah
Secara
etimologis, musyawarah berasal dari kata “syawara” yang pada
mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini
kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat
diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat.
Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu.
Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang
baik, sejalan dengan makna dasarnya.
Karena kata
musyawarah adalah bentuk mashdar dari kata kerja syawara yang dari
segi jenisnya termasuk kata kerja mufa’alah (perbuatan yang
dilakukan timbal balik), maka musyawarah haruslah bersifat dialogis,
bukan monologis. Semua anggota musyawarah bebas mengemukakan
pendapatnya. Dengan kebebasan berdialog itulah diharapkan dapat
diketahui kelemahan pendapat yang dikemukakan, sehingga keputusan
yang dihasilkan tidak lagi mengandung kelemahan.
Musyawarah
atau syura adalah sesuatu yang sangat penting guna menciptakan
peraturan di dalam masyarakat mana pun. Setiap negara maju yang
menginginkan keamanan, ketentraman, kebahagiaan dan kesuksesan bagi
rakyatnya, tetap
Allah SWT
berfirman dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syura 42: 37-38 : “Dan
(bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji,
dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang
yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan-Nya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka.”
Dalam ayat di
atas, syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat
Islam dituturkan sesudah iman dan shalat. Menurut Taufiq asy-Syawi,
hal ini memberi pengertian bahwa musyawarah mempunyai martabat
sesudah ibadah terpenting, yaitu shalat, sekaligus memberikan
pengertian bahwa musyawarah merupakan salah satu ibadah yang
tingkatannya sama dengan shalat dan zakat. Maka masyarakat yang
mengabaikannya dianggap sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah
satu ibadah.
‘Abdul Karīm
Zaidan menyebutkan bahwa musyawarah adalah hak ummat dan kewajiban
imam atau pemimpin. Dalilnya adalah firman Allah SWT yang
memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk bermusyawarah dengan
para sahabat.
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah
mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
(QS. Ali ‘Imran 3: 159)
Ayat di atas
turun dalam konteks Perang Uhud, di mana pasukan Islam nyaris
mengalami kehancuran gara-gara pasukan pemanah yang ditempatkan Nabi
di atas bukit
tidak
disiplin menjaga posnya. Akibatnya posisi strategis itu dikuasai
musuh dan dari sana mereka balik menyerang pasukan Islam. Namun
demikian Nabi tetap bersikap lemah-lembut dan tidak bersikap kasar
kepada mereka.
Sebenarnya
sebelum perang Uhud Nabi sudah bermusyawarah terlebih dahulu dengan
para sahabat tentang bagaimana menghadapi musuh yang akan datang
menyerang dari Mekkah, apakah ditunggu di dalam kota atau disongsong
ke luar kota. Musyawarah akhirnya memilih pendapat yang kedua. Dengan
demikian, perintah bermusyawarah kepada Nabi ini dapat kita baca
sebagai perintah untuk tetap melakukan musyawarah dengan para sahabat
dalam masalah-masalah yang memang perlu diputuskan bersama.
Mengomentari
perintah musyawarah kepada Nabi dalam ayat di atas Muhammad Abdul
Qadir Abu Faris menyatakan: “Jika Rasulullah SAW yang ma’shum dan
mendapatkan penguat wahyu, sampai tidak pernah berbicara dengan nafsu
telah diperintahkan dan diwajibkan oleh Allah SWT agar bermusyawarah
dengan para sahabatnya, sudah tentu, bagi para hakim dan umara,
musyawarah sangatlah ditekankan”.
Bahkan
Rasulullah SAW yang memiliki kedudukan yang sangat mulia itu banyak
melakukan musyawarah dengan para sahabat beliau seperti tatkala
mencari posisi yang strategis dalam perang Badar, sebelum perang Uhud
untuk menentukan apakah akan bertahan di dalam kota atau di luar
kota, tatkala Nabi berencana untuk berdamai dengan panglima perang
Ghathafan dalam perang Khandaq, dan kesempatan lainnya.
Memang,
musyawarah sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan yang
paling baik di samping untuk memperkokoh persatuan dan rasa tanggung
jawab bersama. ‘Ali ibn Abī Thalib menyebutkan bahwa dalam
musyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu mengambil kesimpulan yang
benar, mencari pendapat, menjaga kekeliruan, menghindarkan celaan,
menciptakan stabilitas emosi, keterpaduan hati.
b. Ijma’
Ijma’
dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad)
terhadap sesuatu. disebutkan أجمع
فلان على الأمر berarti
berupaya di atasnya.
Sebagaimana
firman Allah Swt:
“Karena
itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu.
(Qs.10:71)
Pengertian
kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang
kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua
lebih dari satu orang.
Ijma’
dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari
kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum
syara.
Adapun
rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para
mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .
‘Kesepakatan’
itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
1.
Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila
keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena
‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya
disepakati antara satu dengan yang lain.
2.
Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam
suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka.
Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid
haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah,
Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini
tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan
kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu
masa.
3.
Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang
mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk
perkataan, fatwa atau perbuatan.
4.
Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid.
Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan
yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda
sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan
kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
Syarat
Mujtahid
Mujtahid
hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
Syarat
pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
Pertama.
Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
Kedua,
Memiliki pengetahuan tentang Sunnah. Ketiga, Memiliki pengetahuan
tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
Syarat
kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
Syarat
ketiga, Menguasai ilmu bahasa
Selain
itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu
memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat).
Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid
al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan
mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami
maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan
menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas
maqasid al-Syariah.[14]
Kehujjahan
Ijma’
Apabila
rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan
menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari
seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis
dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak
setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik
dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun
individu.
Selanjutnya
mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu
disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak
mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh
menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad,
karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i
yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).
Konsep ijma’ dalam tradisi Islam
sebenarnya bisa dikatakan sebagai konsep revolusioner. Di sini, ijma’
sebagai akumulasi hasil ijtihad sebenarnya menjadi langkah positif
untuk mematangkan fungsi agama sebagai sumber moral dan etik untuk
menggugah kesadaran kolektif yang lebih bersifat antroposentris.
Banyak sekali persoalan kemanusiaan yang semestinya dijawab dengan
semangat ijma’.
Tulisan ini juga dimuat di harian
Media Indonesia, 23 April 2004
“BARANG SIAPA berpendapat sesuai
dengan pandangan kebanyakan komunitas muslim, sesungguhnya ia telah
menunaikan konsensus. Sebaliknya, barang siapa bertolak belakang
dengan pandangan kebanyakan komunitas muslim, sesungguhnya ia telah
melanggar konsensus. Kelalaian hanya terjadi dalam keterpecahan dalam
mencapai konsensus. Sedangkan konsensus tidak akan melahirkan
kelalain terhadap makna Alquran, sunnah dan analogi”.
Itulah pandangan Imam al-Syafi’i
dalam mognum opus-nya,
al-Risalah
perihal pentingya ijma’
(konsensus) dalam mengambil sebuah kesimpulan hukum. Yang menjadi
kata kunci dalam ijma’ adalah keterlibatan sebagian besar para ahli
dan cerdik cendekia untuk menetapkan sebuah kedudukan hukum yang
nantinya akan dijadikan acuan bersama. Dalam konsep ijma’, sebuah
hukum tidak ditentukan oleh otoritas politik, melainkan dimiliki oleh
wakil-wakil masyarakat, yaitu mereka yang memiliki keahlian dan
kepakaran dalam masalah keagamaan.
Konsep ijma’ dalam tradisi Islam
sebenarnya bisa dikatakan sebagai konsep revolusioner. Betapa tidak,
sebab sumber-sumber hukum yang sebelumnya hanya mengacu kepada
Alquran dan sunnah, lalu dalam perjalanan sejarahnya, membuktikan
bahwa terdapat otoritas selain Alquran dan Sunnah, yaitu ijma’.
Ijma’ telah memberikan ruang bagi penemuan makna autentik yang
bersumber dari konsensus. Salah satu unsur terpenting dalam ijma’
adalah penalaran.
Hemat saya, pandangan seperti ini
tidak asal-asalan, tetapi mempunyai landasan normatif yang sangat
kuat, yaitu hadis nabi yang diriwayatkan Mu’adz bin Jabal. Tatkala
ia diutus Nabi Muhammad saw. ke Yaman, ia bertanya kepada Rasulullah
perihal metode pengambilan sebuah hukum. Rasulullah memberikan tiga
resep sekaligus, yaitu Alquran, sunnah dan ijtihad.
Tersedianya ijtihad sebagai
mekanisme pengambilan keputusan hukum merupakan langkah progresif.
Ijtihad menjadi pintu masuk untuk menjawab pelbagai persoalan
keumatan yang semakin pelik, terutama masalah-masalah aktual yang
belum tersentuh oleh teks-teks keagamaan. Tentu saja, ijtihad yang
dimaksud harus mempertimbangkan kapabilitas dan akseptabilitas.
Maksudnya, tidak sembarang ijtihad.
Ibnu Hazm dalam al-Muhalla,
mengimani perlunya nalar untuk menghidupkan ruh kepekaan agama dalam
menyoroti masalah-masalah aktual. Bahkan, ia menyebut seorang yang
berijtihad, bila produk ijtihadnya salah sekalipun, jauh lebih baik
ketimbang sikap ikut-ikutan (taqlid),
kendatipun produk ikut-ikutan tersebut benar. Ia, yakin betul,
perlunya nalar untuk mendesain wajah agama agar menjadi aktual dan
kontekstual. Kehadiran nalar, setidaknya menghadirkan kesadaran baru
akan eksistensi manusia sebagai makhluk yang berakal.
Di sini, ijma’ sebagai akumulasi
hasil ijtihad sebenarnya menjadi langkah positif untuk mematangkan
fungsi agama sebagai sumber moral dan etik untuk menggugah kesadaran
kolektif yang lebih bersifat antroposentris. Banyak sekali persoalan
kemanusiaan yang semestinya dijawab dengan semangat ijma’.
Dalam kaitannya dengan transisi
demokrasi yang sedang kita songsong bersama, ijma’ bisa dimaknai
lebih mendasar guna mematangkan perilaku demokratis, yaitu mewujudkan
sikap politik yang betul-betul partisipatif. Partisipasi yang
dimaksud tidak hanya bersifat klise, melainkan sebuah partisipasi
yang subtansialistik, yang senantiasa mencerminkan kemaslahatan
bersama. Di sini, ijma’ bisa dijadikan salah satu mekanisme untuk
mendewasakan partisipasi politik.
Ada beberapa hal yang sangat
mendasar dalam ijma’ sebagai paradigma partisipasi. Mahmud Syaltut,
mantan Grant Syaikh al-Azhar dalam al-Islam,
Aqidah wa Syariah menulis
empat hal yang sangat mendasar dalam ijma’. Pertama, konsep
keterwakilan dalam ijma’ didasari pada kompetensi dan kapabilitas.
Dalam konsep ijma’, keahlian dan kepakaran merupakan hal yang
mendasar. Syaltut menyebutkan, bahwa orang yang akan terlibat dalam
ijma’ harus mempunyai kemampuan dalam analisis dan sintesa
(al-ilmam bisawail
al-bahst wa al-nadhar).
Jikalau dalam masalah keagamaan harus mengetahui ilmu linguistik,
ruh, dan kaidah-kaidah syariat, maka dalam masalah politik, seorang
yang akan menjadi wakil rakyat harus mempunyai kemampuan dalam
menganalisis masalah-masalah sosial kemasyarakatan, lalu mendiagnosis
dan mencari solusinya. Di sini keterwakilan bukan cek kosong,
melainkan sebuah kapabilitas yang maksimal.
Kedua, konsep keterwakilan dalam
ijma’ harus mempertimbangkan keterwakilan wilayah (tu’raf
buldanuhum al-muntasyirah fi al-aqalim).
Dalam ranah demokrasi, perimbangan wilayah menjadi penting, sehingga
tidak ada monopoli pusat atas daerah. Salah satu hal yang penting
dalam demokrasi adalah desentralisasi. Ijma’ pun memperhatikan
aspek desentralisasi, sehingga sebuah produksi hukum tidak merupakan
monopoli pusat. Dalam ijma’, aspek wilayah menjadi penting untuk
menjangkau wilayah yang lebih luas serta menjaga perimbangan.
Ketiga, konsep keterwakilan dalam
ijma’ meniscayakan sebuah penguasaan atas setiap masalah secara
komprehensif (an yu’rafa
ra’yu kulli wahidin minhum).
Sekelompok yang akan mengambil ijma’ sejatinya turun ke lapangan
secara langsung dan mengetahui persoalan sedetail-detailnya.
Partisipasi dalam demokrasi pun mewajibkan agar wakil-wakil rakyat
dapat memotret persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat
secara komprehensif, sehingga dapat menghasilkan solusi yang dapat
menjangkau kemaslahatan umum. Di sini, sejatinya hubungan antara
wakil rakyat dan rakyat bersifat langsung, sehingga kesimpulan dan
keputusan yang akan diambil betul-betul menyentuh jantung persoalan
yang dihadapi rakyat pada umumnya.
Keempat, konsep keterwakilan dalam
ijma’ mengandaikan adanya konsensus yang nantinya akan dijadilan
acuan bersama (ittifaquhum
jami’an fiha ‘ala ra’yin wahidin).
Konsensus merupakan puncak dari partisipasi, yang memastikan adanya
sebuah kesimpulan untuk dijadikan acuan dalam melakukan sebuah
perubahan. Sedapat mungkin, konsensus menjadi langkah awal membangun
sebuah tatanan baru yang adil dan beradab.
Di sini, sebenarnya ijma’ dalam
tradisi fikih memberikan inspirasi bagi terwujudnya partisipasi yang
ideal, yaitu partisipasi yang kualitatif, representatif dan
komprehensif, sehingga dengan demikian partisipasi masyarakat dapat
mendorong terciptanya perubahan yang bersifat radikal.
Partisipasi merupakan jantung dari
demokrasi. Semakin baik kualitas partisipasi, maka demokrasi akan
semakin baik pula. Menurut Samuel P Huntington dan Nelson terdapat
dua model partisipasi, yaitu patisipasi yang bersifat otonom
(autonomous participation)
dan partisipasi yang dikerahkan (mobilized
participation).
Partisipasi yang bersifat otonom jauh lebih baik, karena lahir dari
pengorbanan dan kesukarelaan masyarakat untuk terlibat langsung dalam
memperjuangkan hak-hak mereka. Sedangkan partisipasi yang dikerahkan
hanya membawa kepentingan segelintir elite politik.
Karena itu, konsep ijma’
semestinya dapat mendorong terbentuknya partisipasi yang bersifat
otonom. Ijma’ sebagai salah satu mekanisme kultural yang berbasis
keagamaan sejatinya dapat menumbuhkan partisipasi otonom yang pada
akhirnya dapat menjadi kekuatan kontrol dan penyeimbang. Ijma’ pada
zaman Imam Syafi’i memang digunakan untuk masalah-masalah ritual
keagamaan. Namun, di era demokrasi, ijma’ harus memberi makna plus
untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.
Dalam Pemilu 2004, yang sebagian
besar para pemilih adalah kalangan muslim, sejatinya mereka dapat
menjadikan pemilu sebagai kontrak sosial yang paling maksimal. Perlu
mencari mekanisme-mekanisme kultural yang tersedia dalam tradisi
klasik guna mendongkrak kesadaran atas pentingnya partisipasi yang
bersifat otonom dan langsung. Apalagi pemilu 2004 adalah pemilu
pertama yang dilaksanakan secara langsung, pemilih tidak lagi memilih
gambar, tetapi memilih langsung wakil-wakil mereka, baik di parlemen
maupun di pemerintahan. Karena itu, kita mesti berpartisipasi secara
otonom untuk mewujudkan demokrasi yang sejati.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Qaadir
Haamid, Tijani. 2001. Pemikiran
Politik dalam Islam;
Terjemahan oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk dari Ushulul
Fikris-Siyaasi fil-Qur’aanil-Makki.
Jakarta: Gema Insani Pers
http://klinikmahathir.blogspot.com/2007/05/demokrasi-gaya-malaysia-lebih-diyakini.html
Muhammad
Al-Maqdisiy, Abu. 2008. Demokrasi
Sejalan dengan Islam?.
Jakarta: Ar Rahmah Media
Zuhairi
Misrawi, Penulis
Kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
http://www.angelfire.com/id/sidikfound/ham.html
Penyusun : Fuad H. Sandiah | Mahasiswa MI Sem. 4
Universitas Informatika dan Bisnis Indonesia | UNIBI Bandung
Demokrasi ( Tugas Matkul Agama )
Description: Demokrasi , demokrasi islam, demokrasi dalam islamViews:
Category:
Tugas Kampus